ICMI dan HMI Tangerang Gelar Focus Group Discussion
POTRETTANGERANG.ID, Kota Tangerang – Pemilu 2019 baru saja usai dengan segala riak-riaknya. Masyarakat Indonesia yang semula terpolarisasi pada identitas politik tertentu, diharapkan kembali bersatu. Guyub dan rukun. Namun harus diakui masih ada baper, antar pendukung hingga terkesan susah move on.
Adanya hal tersebut, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kota Tangerang bersama HMI Komisariat Unis Cabang Tangerang menggelar Focus Group Discussion (FGD), bertajuk merajut keutuhan NKRI pasca Pemilu 2019. Digelar di salah satu rumah makan di Jalan KH Hasyim Ashari, Cipondoh, Rabu (24/07/2019).
FGD menghadirkan sejumlah narasumber, seperti pengamat komunikasi politik/KPI-Kominfo Banten, Alamsyah, akademisi STISNU, Mahfudh Fauzi serta budayawan, Dayat Ilyas merupakan anggota ICMI Kota Tangerang.
Ketua ICMI Organisasi darah (Orda) Kota Tangerang, Jazuli Abdillah mengatakan, banyak wakil rakyat yabg terpilih itu dikarenakan kuantitas, bukan terpilih karena kualitas.
“Bahwa mereka yang seharusnya menjadi wakil rakyat, karena tidak kuatnya pendukung transaksional, maka tidak terpilih, akan tetapi bagi mereka yang punya pendukung transaksional kuat maka akan terpilih,” ucap Jazuli yang merupakan legislatif DPRD Provinsi Banten Dapil VI terpilih.
“Saya memberanikan diri menjadi politisi, dengan dasar pernah menjadi penyelenggara politisi yaitu komisioner KPU pertama kali yang juga aktivis dan akademisi,” tambahnya.
Beda dengan Alamsyah, yang menyoroti para pemilik media yang terjun dalam politik praktis. Menurutnya, diakui atau tidak, ketika para pemilik media terjun ke politik praktis, maka media itu menjadi sarana untuk menyalurkan kepentingan politiknya.
“Sudah banyak buktinya, pemberitaan stasiun TV yang pemiliknya berpolitik praktis cenderung berpihak kepada kelompok tertentu,” ucapnya.
Menurutnya, tentu akan sangat merugikan para politisi lain khususnya mereka yang tidak memiliki media. Maka sebaiknya, politisi tidak memiliki media.
“Kalau memiliki media, ya tidak usah berpolitik praktis,” singkatnya.
Tak hanya itu, masyarakat juga diharapkan memahami karakter serta tujuan politik praktis sehingga tidak terlalu larut di dalamnya. Dengan kata lain, masyarakat tidak menjadi pendukung kontestan politik secara berlebihan.
“Masyarakat tidak perlu mati-matian menjadi cebong atau kampret,” singkatnya kembali.
Komisioner KPI ini juga berpendapat bahwa politisi itu boleh berbohong, tapi tidak boleh salah, akan tetapi akademisi itu tidak boleh bohong, tetapi boleh salah.
Sementara, Akademisi STISNU, Mahfudh Fauzi menambahkan, dalam pemilu 2019 tumbuh ormas terbesar ketiga di Indonesia setelah NU dan Muhammadiyah. Ormas tersebut tidak lain adalah netizen atau warganet.
“Kenapa saya katakan ormas terbesar setelah NU dan Muhammadiyah, karena dengan jumlah yang banyak, mereka sanggup memengaruhi pemilu di Indonesia,” katanya.
Ia menilai, Ormas netizen ini pula tidak bisa membuat pilihan politik antara pengurus ormas dan anggotanya sama.
“Jadi boleh saja kandidat bisa memegang kepala (ormas)nya, tapi anggotanya kan tidak, karena apa? mereka sudah berorganisasi dengan netizen,” pungkasnya. (Gor/Yip)