Digital Marketing Politik dan Kampanye Pemilu 2019
OLEH : REZKI PRATAMI,
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS BUDI LUHUR JAKARTA
Pemilu atau pemilihan merupakan pesta demokrasi dalam sistem pemerintahan sebuah Negara yang moderen, sebagai wujud aspirasi kepada warganya. Kristiadi dalam Khoirudin (2004) makna pemilihan umum bagi kehidupan demokratis adalah sebagai bentuk untuk melakukan perubahan terhada kekuasaan yang terstruktur oleh norma dan etika sehingga perputaran siklus para petinggi politik dapat berjalan dengan baik dan beradab. Instirusi pemilihan umum merupakan produk pengelolaan pengalaman yang menghasilkan sejarah dan mewujudkan kedaulatan bagi rakyat.
Dalam pemilu partai politik memainkan peran yang bisa dibilang cukup penting dan krusial sebagai yang menjembatani antara ideologi Negara dan aspirasi masyarakat dengan pemimpin Negara atau pemerintah, Almond (1995:66). Fungsi daripada partai politik yaitu sebagai komunikasi politik yaitu penyampaian pesan politik dari komunikator politik kepada komunikan atau masyarakat, selain itu juga berfungsi sebagai sosialisasi politik, rekruitmen politik, partisipasi politik, dan agregasi kepentingan antara elit politik.
Dalam kegiatan berpolitik, pemilihan umum menjadi hal yang lumrah dilakukan ntuk bisa menentukan siapa yang berhak dan mampu mengemban tanggung jawab untuk bisa memimpin Negara. Kegiatan pemilu tak lepas dari pada kegiatan kampanye dimana dalam kegiatan kampanye suatu partai diperbolehkan untuk mengumunkan kepada masyarakat luas tentang bagaimana partai tersebut, siapa kandidat yang diusung, bagaimana implementasi antara kegiatan dalam masyarakat dan kegiatan berpolitik dalam visi misi dan progam kerja, serta bagaimana cara memilihnya.
Jika dikaitkan dengan istilah marketing, kampanye merupakan kegiatan mempromosikan partainya atau anggota partai yang sedang dan akan diusung untuk memenangkan hati masyarakat dalam pemilu.
Adman Nursal (2004:8) dalam buku Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu Sebuah Pendekatan Baru Kampanye, Pemilihan DPR, DPD, Presiden, menjelaskan mengenai marketing politik yang merupakan perpaduan dua cabang ilmu yaitu marketing dan politik. Marketing politing sudah mulai diterapkan sejak zaman revolisi Perancis tahun 1789 dengan mengusung slogan liberte, eligate, fraternite, kemudian tahun 1830-an muncul iklan politik karya praktisi iklan professional Charles Barker, dan di tahun 1930-an untuk pertama kalinya diluncurkan fire side chat yang disiarkan oleh media penyiaran oleh Franklin D. Roosevelt.
Perkembangan teknologi yang kini sedang kita alami tidak hanya berdampak pada kehidupan bermasyarakat namun juga dalam kehidupan berpolitik. Penggunaan media digital/ online dan media sosial kini menjadi hal yang sama sekali tidak sulit untuk diakses semua kalangan. Allifiansyah (2016:152) memaparkan salah satu medium yang banyak dipergunakan dalam rangka memberikan ruang dalam studi demokrasi yaitu media digital atau media online dan media sosial. Pemanfaatan teknologi komunikasi digital dipergunakan demi menjalankan dan melancarkan kegiatan masyarakat dan partisipasinya dalam berdemokrasi.
Firmanzah (2007:127) Kegiatan marketing politik di Indonesia pertama kali terjadi pada tahun 1998 saat masa reformasi dan muncul 150 partai namun hanya 48 partai yang lolos dalam sleksi yang bisa mengikuti pemilu tahun 1999. Perkembangan zaman membawa kegiatan marketing politik pada gelombang marketing baru atau new wave marketing, dimana penggunaan medium baru kerap dilakukan dalam melancarkan kegiatan berpolitik. Kampanye dengan menggunakan media sosial disinyalir menjadi strategi yang akan peluang untuk dapat memenangkan pemilu.
Media sosial banyak dijadikan sebagai medium dalam Kampanye pemilu khususnya pemilu 2019. Sejumlah partai politik menggunakan media sosial untuk melancarkan aksi promosi partainya juga paslon (pasangan calon) yang usungnya untuk menjadi wakil rakyat. Medium ini dianggap efektif, karena banyaknya pengguna media sosial di Indonesia.
Nugroho & Syarief dalam utomo (2013), menyatakan pengguna Facebook di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 42,5 juta penduduk indonesia, Twitter mencapai angka 19,5 juta penduduk, dan blog lebih dari 3,5 juta penduduk.
Sementara data yang berhasil dihimpun dari Wearesosial Hootsuite Januari 2019, pengguna media sosial Indonesia mencapai 150 juta penduduk atau senilai dengan 56% penduduk Indonesia. Penguna media sosial dalam gadget mencapai 130 juta penduduk atau setara dengan 48% populasi Indonesia (databooks.katadata.co.id, 2019). Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, artinya hampir separuh penduduk Indonesia adalah pengguna aktif media sosial baik dari PC (personal computer) maupun gadget.
Siginifikansi jumlah penduduk Indonesia sebagai pengguna aktif media sosial, membuat para komunikator politik melirik peluang untuk bisa menjadikan media sosial sebagai arena berkampanye dalam rangka turut serta dalam pemilu khususnya pada pemilu tahun 2019. Media sosial dinilai sebagai medium yang efektif untuk menyebarkan pesan politik kepada masyarakat, khususnya bagi generasi millennial sebagai pemilih baru dan diarahkan agar tidak mengambil langkah GolPut.
Fenomena pengguna media sosial pada penduduk Indonesia tidak disia-siakan bagi para kandidat capres dan cawapres pemilu 2019. Kedua paslon kerap membagikan informasi dan promosi dalam bentuk kampanye partai dan kampanye untuk dirinya dalam unggahan media sosial yang kini banyak tersedia.
Dalam data yang diperoleh dari www.iklancapres.com yang dikutip dalam nasional.kompas.com, media sosial yang dipergunakan dalam melaksakana aksi kampanye yaitu Facebook, Instaram, Twitter, hingga Youtube. Pasangan Joko Widodo – Ma’aruf pada nomor urut 01 lebih banyak menggunakan Facebook, sementara pasangan nomor urut 02 Prabowo – Sandiaga lebih dominan memakai Instagram.
Dalam data yang dirilis oleh Komunitas Satu Dunia bahwa terdapat 16 akun nedia sosial yang terafiliasi dengan pasangan Jokowi – Ma’aruf, sementara Prabowo – Sandiga tercatat sebanyak 18 akun.
Tren kampanye melalui sosial media atau kampanye digital mulai populer saat pemilihan umum Amerika Serikat dengan kandidat Hillary dan Trump tahun 2015. Sejak saat itu kampanye digital mulai banyak dipergunakan diberbagai Negara. Kampanye di era digital didak hanya terbatas pada kegiatan sosialisasi dan orasi kepada public.
Dilansir oleh cnbcindonesia.com (2019) bahwa kampanye melalui media sosial dinilai lebih efisien dan efektif. Hal ini dilandasi oleh media sosial mampu menekan biaya produksi sehingga lebih ekonomis, dan tentu saja lebih tepat sasaran. Hal ini telah dibuktikan oleh kemenangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Kemunculan media digital atau media yang terintegrasi dengan internet tentu saja memberikan pengaruh besar pada kegiatan marketing politik. Pemakaina media internet dalam kegiatan marketing pilirik yang disebut juga dengan gigital marketing politik, dianggap sebagai produk yang berupa barang dyang dapat dipromosikan melalui media online dan media sosial untuk bisa mendapatkan respon berupa dukungan dari masyarakat sebagai pemilih.
Revolusi industri 4.0 berdampak pada polarisasi politik. Kehadiran media sosial dan media online memudahkan para politisi untuk bisa mngkampanyekan artainya serta kandidatnya kepada masyarakat luas. Memon pemilihan umum tahun 2019 menjadi bukti akan kepolpuleran tren kampanye dengan cara yang baru atau yang disebut juga dengan digital politik marketing. kontrol terpaan media bisa dilakukan oleh pengguna media sosial dan media online itu sendiri sehingga tidak disalah artikan. (*)