Dies Natalis 74 Tahun HMI, Menjadikan Episentrum Dialog Berbagai Perbedaan
Oleh : Ari Safari Mau, Kandidat Ketua Umum PB HMI, Wakil Ketua PTKP PB HMI, UNAS
Sejak bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam pada 2012, saya berhadapan dengan wacana-wacana keislaman dan keindonesiaan yang dengan berbagai penjelasan menjadi satu kesatuan yang saling mengisi. Delapan tahun berada di organisasi mahasiswa ini, saya mulai meresapi bagaimana pandangan organisasi ini terhadap keislaman dan keindonesiaan yang jika ditelaah dari kacamata historis sebenarnya juga tidak tunggal. Secara epistemik, cara pandang HMI terhadap dua hal itu berubah dari masa ke masa.
Membaca teks-teks keislaman di Indonesia, saya mulai mampu merasakan bagaimana organisasi mahasiswa islam ini mengalami keislaman dan keindonesiaan sekaligus. Pada titik inilah saya akan memulai refleksi ini.
Pada saat kemunculannya HMI memiliki pandangan bahwa ummat Islam pasca kolonial telah berada jauh dari agama. Budaya kolonial yang demikian sekular dan nyaris tidak melibatkan agama dalam aktifitas kenegaraannya menjadikan masyarakat mayoritas yang beragama islam, menjadi sangat jauh dari agama (khususnya masyarakat urban). Sebab itu pula rumusan tujuan pendirian HMI pertama kali adalah untuk mempertinggi harkat dan martabat umat islam indonesia dengan mengembalikan agama ke dalam kehidupan bernegara dan kesehariannya.
era dimana HMI berjuang untuk misi keagamaannya ini dimulai pada 1947 sampai pada 1957. Disamping misi-misi keagamaan itu HMI juga sekaligus ikut ambil bagian dalam mempertahankan kedaulatan Negara pada agresi militer II. Saat-saat itu memang agama adalah inspirasi paling baik yang dimiliki Indonesia untuk sepenuhnya terbebas dari penjajahan.
Tapi pada saat orde baru mulai berkuasa dan stabilitas politik mulai dipertontonkan dan diperjuangkan habis-habisan oleh rezim, pada batang tubuh HMI kemudian muncul para pembaharu seperti caknur yang mencoba mengelaborasikan Islam dengan Indonesia.
Bersebab pada perseteruannya dengan rezim, baik orde lama maupun orde baru, Islam pada saat itu kembali terpinggirkan. Aspek-aspek hukum di dalam agama yang kian mengemuka membuat para penguasa baik Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto merasa terganggu dengan pemikiran-pemikiran islam yang mengedepankan aspek hukum. Nurcholish Madjid, seorang lulusan Gontor sekaligus berlatar belakang keluarga Masyumi kemudian memberikan angin segar bagi wacana pembangunan Soeharto dan bagaimana Islam dapat berkontribusi untuk pembangunan itu.
Kemunculan Caknur dengan setumpuk wacana pembaharuannya membuat ummat islam Indonesia tersadar bahwa keislaman yang mengedepankan aspek hukum pada levelnya yang paling parsial, bukanlah suatu pandangan yang dapat digunakan untuk berdialog dengan zaman, alih-alih dengan suatu rezim yang memiliki arah yang spesifik dalam menjalankan roda pemerintahannya.
setumpuk wacana-wacana pembaharuan Caknur itu dirumuskan dalam jargon-jargon yang tidak cukup mudah untuk dicerna mayoritas masyarakat, meski tentu saja lebih dari cukup untuk menghentakkan kecenderungan fiqh dalam kehidupan beragama umat islam zaman itu. Diantara jargon yang paling terkenal adalah Islam Yes, Partai Islam No.
Jargon ini merupakan meta-kritik bagi cara pandang umat islam terhadap politik, yang saat itu melihat politik dan negara sebagai soal-soal yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram, surga-neraka dan iman-kufur. Caknur memberikan uraian panjang lebar tentang bagaimana agama sama sekali tidak berbicara secara gamblang tentang bentuk negara dan cara tunggal dalam suksesi kepemimpinan. Uraian Caknur ini lah kemudian yang membantu umat islam indonesia untuk berdamai dengan demokrasi yang telah dipilih sebagai jalan bernegara kita sejak negara ini didirikan.
Selain itu caknur sebenarnya juga membuka keran-keran kebebasan berpikir bagi umat muslim yang telah mengalami kejumudan dan hanya berbicara urusan halal-haram tanpa pernah mau memahami urusan-urusan kompleks politik, kenegaraan bahkan tekhnologi dan kebudayaan. Caknur dengan gigih mengkampanyekan wacana Islam Substantif yang mau tidak mau harus diperhadapkan dengan islam simbolik yang menjadi cara berpikir khas umat muslim arus utama di hari-hari itu.
Kampanyenya yang tak mengenal lelah itu, selain membuahkan hasil bagi umat, juga mendapatkan kritik-kritik tajam dari pemuka agama saat itu. Dukungan yang ia dapatkan tidak sebanyak kritik dan fitnah yang diterimanya. Tapi begitulah Caknur, ia berbicara dengan lisan dan tata bahasa yang jauh melampaui zamannya.
Setelah semua perjuangan Caknur itu, bagaimanakah kondisi alam pikiran umat islam indonesia hari ini? kita sama-sama tahu, pemilu 2019 telah meninggalkan cerita tragis bagi kehidupan keberagamaan kita di Indonesia. Saat itu ulama yang menginsinuasikan dirinya sebagai perwakilan umat islam arus utama ikut di dalam pertarungan politik dan secara terang-terangan menjadi microphone bagi Prabowo Subianto yang kemudian kalah dalam pemilu tersebut.
Pembelahan di kalangan umat islam Indonesia saat itu kian kentara, sebab para tokohnya membelah dua calon presiden itu kepada dua terminologi. Yang satu disebut hizbullah dan yang lain disebut hizbussyaithan. Politik agama yang simbolik ini–untuk tidak menyebutnya sebagai politisasi agama, harus diakui telah membawa dampak tertentu bagi berjalannya roda kenegaraan kita.
Sampai konsensus antara kedua pasangan calon terjadi, kelompok-kelompok masyarakat yang terlanjur memahami pemilu sebagai pertempuran antara Si Jahat dan Si Baik pun tetap pada posisi pikirannya. Perlawanan dari umat muslim yang mengalami mis-konsepsi dengan petahana pun tetap terpatri dalam protes-protes destruktif, bahkan nyaris anti pemerintah.
Pada situasi ini cara berpikir Islam jalan tengah atau islam substantif pun mengalami kebuntuan untuk muncul ke permukaan–sebab menjadi juru damai di tengah kekacauan pikiran publik, itu sama artinya dengan berdiri di sudut sisi yang sama ekstremnya.
Tantangan cara berpikir islam simbolik ini merupakan tantangan yang tidak pernah usai. Himpunan Mahasiswa Islam melalui Nilai-Nilai Dasar Perjuangan yang dirumuskan caknur setengah abad yang lalu harus mengambil peran konkret. Situasi mis-konsepsi ini merupakan keretakan epistemik zaman ini yang sekaligus adalah efek buruk industrialisasi dan pembangunan.
Daripada itu saya mengajukan satu pemikiran bahwa betapa perlu kita, kader-kader HMI untuk menjadikan organisasi sebagai sekolah-sekolah bagi perdamaian, resolusi dan lebih mendasar lagi bagi dialog atas perbedaan-perbedaan. Pemikiran khas HMI adalah pemikiran yang mencoba melihat segala sesuatu sampai pada akar masalahnya, pada substansi segala sesuatu.
74 Tahun umur Himpunan ini, kita harus membentuk kembali berbagai pelatihan yang dapat memunculkan generasi-generasi pendidik, generasi misi yang memberikan kesadaran bagi masyarakat tentang pentingnya berdialog dan berkolaborasi menuju Indonesia maju dan sejahtera. (*)